Kebetulan
suatu malam saya pergi belanja kebutuhan sekaligus membeli Inggu* di toko
Linking, Inggu yang saya beli itu hanya bisa didapati di toko Ini, benda ini
biasanya dipakai oleh ibu yang mulai hamil konon untuk membuat mahluk tak kasat
mata menjauhi sicalon bayi, kebetulan ipar saya membutuhkan benda itu, ya
sebagai bagian dari khazanah budaya, menariknya ada juga ternyata toko orang
Tionghoa yang menjual benda semacam itu. Iseng-iseng saya menanyakan pada
pemilik toko tersebut, sepertinya sudah generasi kedua. orangnya masih cukup
muda sekitar 35-40 tahun.
“Koh saya
pernah dengar keluarga kokoh dulu di Salimbatu ya”
Agak terkejut
rupanya ditanya hal tersebut, sambil tersenyum ramah,
“Iya dulu
Akong, moyang saya, berangkat dari Cina, lewat Thailand dan kemudian sampai di
Salimbatu”, katanya mulai membuka kisah.
“Wah menarik
sekali koh, dulu sudah buka toko disana ya koh, Tanya saya agak kepo
“Kalo toko
kami nda punya, dulu di Salimbatu kami buat udang yang dikeringkan, terasi di
buat dirumah. Dulu banyak saudagar Bugis yang bawa ke Tanjung Selor atau
ke Tarakan, kebanyakannya sih Tarakan’. Kata beliau.
“Jadi disini banyak orang Hakka yak koh” Tanya saya
(saya pikir beliau orang Hakka)
“Kalo Hakka,
ada. Kalo kami orang Tiociu kebanyakannya di Tanjung Selor itu, hampir semua
keluarga saya disini punya pertalian keluarga, kebanyakan Tiociu”.
Ingatan saya
mulai menerawang, segara saya membuka tulisan lama yang saya buat beberapa
tahun lalu dan perlu di revisi ulang. Orang Tiociu berasal dari wilayah
pedalaman Swatow dan sepanjang barat daya kota pelabuhan tersebut, mereka
bertetangga dengan orang Hokkian di provinsi Fukien Selatan (Fujian). Bila
sampai di tempat perantauan, Orang Tiociu banyak berkecimpung dibidang
pertanian, mungkin dikenal sebagai Cina kebun.
Disini saya
mulai menyadari kekeliruan saya, saya pikir Orang Tiocio tidak banyak di banyak
di Tanjung Selor, faktanya justru sebaliknya mereka suku Tionghoa yang paling
banyak disini, karena kemampuan Survive mereka yang dapat mengolah hasil bumi
berupa perkebunan sayur dan sejenisnya. Mereka bukan penambang Seperti Hakka di
Singkawang, sebab pertambangan tak banyak dikenal di Bulungan sebelumnya.
Saya juga iseng,
menanyakan mengapa makam Tionghoa justru diwilayah Meranti saat ini,“ dulu
kalau memakamkan orang Tionghoa, kami lewat Sungai Selor sebelum ada jalan,
kenapa disana, orang-orang tua dulu juga sebagian dari kami yang muda ini,
percaya adanya Fengsui, jadi wilayah makam itu bagus letaknya karena
membelakangi gunung dan menghadap sungai”
Malam makin
larut, obrolan ringan kami hampir selesai, terakhir saya menanyakan bagaimana
hubungan orang Tionghoa dan suku kaum lainnya di Tanjung Selor”
“Kalo dulu lu
kentut disini, disana orang tau”, katanya sambil tersenyum. “kami rekat sekali
dengan orang-orang di kota ini, kami biasa gotong royong sehingga sekat itu
hampir tidak ada, makanya saya bilang sama keluarga saya jangan kalian
memandang orang dari warna kulit, sebab moyang kalian dulu rekat sekali disini”.
Malam makin
larut, saya pun bersiap pulang. Ceritanya menarik, saya pikir banyak bagian
dari sejarah komunitas kota ini yang belum terkuak, saya mengharapkan tingkat
toleransi yang menjadi pondasi Kota Tanjung Selor ini, masih tetap terjaga dan
semakin bertambah erat. (Pen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar