Selasa, 19 Mei 2020

Obrolan ringan tentang sedikit Hikayat Tionghoa di Tanjung Selor.

Kebetulan suatu malam saya pergi belanja kebutuhan sekaligus membeli Inggu* di toko Linking, Inggu yang saya beli itu hanya bisa didapati di toko Ini, benda ini biasanya dipakai oleh ibu yang mulai hamil konon untuk membuat mahluk tak kasat mata menjauhi sicalon bayi, kebetulan ipar saya membutuhkan benda itu, ya sebagai bagian dari khazanah budaya, menariknya ada juga ternyata toko orang Tionghoa yang menjual benda semacam itu. Iseng-iseng saya menanyakan pada pemilik toko tersebut, sepertinya sudah generasi kedua. orangnya masih cukup muda sekitar 35-40 tahun.

“Koh saya pernah dengar keluarga kokoh dulu di Salimbatu ya”

Agak terkejut rupanya ditanya hal tersebut, sambil tersenyum ramah,

“Iya dulu Akong, moyang saya, berangkat dari Cina, lewat Thailand dan kemudian sampai di Salimbatu”, katanya mulai membuka kisah.

“Wah menarik sekali koh, dulu sudah buka toko disana ya koh, Tanya saya agak kepo

“Kalo toko kami nda punya, dulu di Salimbatu kami buat udang yang dikeringkan, terasi di buat dirumah. Dulu banyak saudagar Bugis yang bawa ke Tanjung Selor atau ke Tarakan, kebanyakannya sih Tarakan’. Kata beliau.

 “Jadi disini banyak orang Hakka yak koh” Tanya saya (saya pikir beliau orang Hakka)

“Kalo Hakka, ada. Kalo kami orang Tiociu kebanyakannya di Tanjung Selor itu, hampir semua keluarga saya disini punya pertalian keluarga, kebanyakan Tiociu”.

Ingatan saya mulai menerawang, segara saya membuka tulisan lama yang saya buat beberapa tahun lalu dan perlu di revisi ulang. Orang Tiociu berasal dari wilayah pedalaman Swatow dan sepanjang barat daya kota pelabuhan tersebut, mereka bertetangga dengan orang Hokkian di provinsi Fukien Selatan (Fujian). Bila sampai di tempat perantauan, Orang Tiociu banyak berkecimpung dibidang pertanian, mungkin dikenal sebagai Cina kebun.

Disini saya mulai menyadari kekeliruan saya, saya pikir Orang Tiocio tidak banyak di banyak di Tanjung Selor, faktanya justru sebaliknya mereka suku Tionghoa yang paling banyak disini, karena kemampuan Survive mereka yang dapat mengolah hasil bumi berupa perkebunan sayur dan sejenisnya. Mereka bukan penambang Seperti Hakka di Singkawang, sebab pertambangan tak banyak dikenal di Bulungan sebelumnya.

Saya juga iseng, menanyakan mengapa makam Tionghoa justru diwilayah Meranti saat ini,“ dulu kalau memakamkan orang Tionghoa, kami lewat Sungai Selor sebelum ada jalan, kenapa disana, orang-orang tua dulu juga sebagian dari kami yang muda ini, percaya adanya Fengsui, jadi wilayah makam itu bagus letaknya karena membelakangi gunung dan menghadap sungai”

Malam makin larut, obrolan ringan kami hampir selesai, terakhir saya menanyakan bagaimana hubungan orang Tionghoa dan suku kaum lainnya di Tanjung Selor”

“Kalo dulu lu kentut disini, disana orang tau”, katanya sambil tersenyum. “kami rekat sekali dengan orang-orang di kota ini, kami biasa gotong royong sehingga sekat itu hampir tidak ada, makanya saya bilang sama keluarga saya jangan kalian memandang orang dari warna kulit, sebab moyang kalian dulu rekat sekali disini”.

Malam makin larut, saya pun bersiap pulang. Ceritanya menarik, saya pikir banyak bagian dari sejarah komunitas kota ini yang belum terkuak, saya mengharapkan tingkat toleransi yang menjadi pondasi Kota Tanjung Selor ini, masih tetap terjaga dan semakin bertambah erat. (Pen)

Seperti apa Kota Tanjung Selor semasa kecil dahulu?

Menara Tunggal Mesjid Raya Tanjung Selor

Dimulai dari pertanyaan sederhana, tulisan kecil ini sebenarnya bukanlah dikategorikan sejarah, jauh dari itu, lebih tepatnya kenangan atau ingatan baik tentang apa yang saya lihat sendiri, maupun kisah atau cerita yang saya ingat pernah saya dapatkan sewaktu kecil dahulu. 

Pernah Punya Lapangan Golf dan Kolam Buaya
Anak Tanjung pasti ingat momen ini, ya dulu sekali saya sempat melihat pejabat memainkan golf dilapangan yang dikemudian hari terbengkalai dan dijadikan lahan perluasan bandara Tanjung Harapan saat ini, tidak banyak sebenarnya orang yang main golf di kota kecil kami ini, jadi sebenarnya olah raga itu buat siapa?, yang lebih menarik adalah ketika Crocodile Park, semacam tempat hiburan berupa sebuah kolam yang masih berada dilokasi yang sama untuk menampung beberapa ekor buaya didirikan ditempat itu, saya akui kami ini butuh hiburan dan kami tidak punya semacam kebun binatang, jadi buaya-buaya tersebut hiburan yang menarik buat saya pada masa itu, sayangnya tidak bertahan lama, lokasi kolamnya sekarang tidak lagi digunakan dan konon buaya-buaya tersebut sudah dikirim ke Balikpapan. 
Mesjid Istiqomah dengan satu menara
Bila saya ingat-ingat masa kecil saya, salah satu tempat yang sangat familiar adalah Mesjid Raya Tanjung Selor atau Mesjid Istiqomah ini, dulu sebelum ada beton dan perluasan masjid, lokasi ini sangat asri karena padang rumput yang hijau tempat kami biasa bermain pulang sekolah, menara tunggal yang ada dihalaman masjid biasa jadi markas 'rahasia' tempat berkumpul kalau lagi menunggu jemputan pulang, menara itu menarik sebenarnya, karena ada tangga berbentuk spiral sampai keruang atas tempat muadzin bila ingin azan, dimasa saya masjid tersebut bila azan sudah menggunakan mik, jadilah tempat muazin tersebut tersebut lokasi yang paling sering didatangi bila waktu senggang, lagipula pemandangan yang lumayan indah bisa tersaji disana, karena bentuk ruangan itu, seingat saya dilingkari kaca tembus pandang. Oya area lingkungan masjid juga terdapat dua buah pohon beringin kembar disana tak jauh dari jalan besar, gak ada seram-seramnya, malahan jadi tempat mojok kawan kalau sudah menunggu taxi langganan datang.

Banana Bis
Bis Sekolah kami itu, warnanya kuning kaya kulit pisang dan kalau mau naik kami bayar karcis, benar sekali karcis yang dibeli di sekolah, saya lupa 500 atau 1000 rupiah perlembarnya. Keberadaan bis situ, sama seperti hari ini, penting buat kami, karena selain jauh dari sekolah, jarang sekali taxi yang mau mengangkut anak sekolah yang bayarannya sekali naik mungkin sekitar 300 rupiah. 

Sebelum ada Bis, Biasanya buat yang orang tua cukup mampu, disewakan taxi yang melayani antar jemput, kami biasa menyebutnya “langganan’, kebanyakan para supir taxi itu orang baik, kalau saya tidak salah saya sempat naik taxinya Om Kuang warnanya hijau, sempat juga gonta ganti ‘Langganan’ itu, karena bandel, anak-anak kecil seusia kami paling suka buka tutup kaca jendela dan duduk didekat situ, supaya dapat ‘angin’, sialnya dalam beberapa kasus kaca jendela banyak yang rusak jadinya ada juga supir taxi yang enggan menjemput anak-anak sekolah karena terlalu kreatif dalam melakukan aksi ‘betukang’ property taxi.

Gengster di sekolah
Yang namanya Buly membuli sudah ada jauh dimasa saya dahulu, munculnya Kelompok-kelompok siswa yang berasal dari kampung atau kawasan kota tertentu masa saya SMP dahulu tumbuh bak jamur dimusim hujan, anak Kampung Arab dan Buluh Perindu, anak Tanjung Palas dengan jiwa Korsanya sendiri, anak PMD dan kelompoknya sendiri, anak Sabanar dan Selimau yang senasip dan sepenanggungan, dan banyak lagi. 

Palak memalak subur sekali waktu itu, kelompok-kelompok semacam gangster munculah disekolah kami, pemicunya diantaranya sering terjadi keributan antar oknum siswa dalam menegakan harga diri dan nama baik kelompok, rivalitas antara kelompok dalam satu sekolah atau antar sekolah memang saya rasakan cukup kuat sekali waktu itu. 

Rivalitas sekolah paling tua adalah antara SMU dan SMEA (SMK dikemudian hari) yang berlangsung cukup lama, dari mana saya tau? Ibu saya lulusan SPG, beliau bercerita dulu anak SPG selalu ada ditengah-tengah barisan antara sekolah ini bila ada apel dilapangan Ahmad Yani atau Lapangan Bola Andi Tjajuk saat ini supaya tidak berantem, dua sekolah ini sudah lama bersaing baik dilapangan prestasi maupun aksi, maklum dulu  sekitar tahun 80an SMU sekolahnya dekat lapangan Ahmad Yani sebelum pindah ke jalan Kolonel Sutadji jadi cukup dekat dengan sekolah SMEA atau SMK saat ini, rivalitas bertambah seru ketika MAN juga ikut menyusul setelah itu. Saya masih ingat salah seorang senior saya berantem di sekitar lampu merah, sebelum Anak-anak MAN dipindah lokasi sekolah di jalan sengkawit dekat Unikal saat ini. Tentu saja itu, dulu sekali. 

Lapangan terbang dan kisah horornya
Kisah mengenai lapangan terbang dan cerita urban legend-nya menjadi cerita tersendiri buat kami semasa kecil dulu, rumah saya sebelumnya ada di kawasan Tanjung Harapan, orang banyak tidak kenal tempat ini, dan jarang juga waktu kecil taxi mau naik ke rute itu karena cukup sunyi, dikenal juga dengan istilah ‘Gunung”. Dulu lapangan terbang menjadi tempat yang favorit bila sore untuk jogging, bayangkan saja Tanjung Selor dimasa itu, kekurangan ruang public sehingga lapangan terbang jadi pilihan yang paling disukai untuk olah raga sekedar lari-lari, cerita mengenai bandara kecil, dulu bandara perintis, sering dilingkupi kisah mistis. 

Saya jadi teringat cerita abah saya sewaktu muda dulu, sebelum jalur melewati Polres Bulungan dibuat untuk sampai ke ‘Gunung’, ada jalur sepeda sekitar tahun 80an yang memotong jalur dibandara tersebut untuk sampai ke Gunung, jalur itu masih ada tapi sudah tidak aktif lagi. Abah saya sering melihat penampakan api terbang dilokasi tersebut, Ada juga kisah lain yang diceritakan kepada saya waktu kecil dulu, suatu malam seorang ibu pejabat Kodim sempat melewati jalur yang melewati depan kantor polisi menuju kediaman beliau di Gunung, ditengah jalan melihat seorang perempuan butuh tumpangan naik ke gunung, beliau memberikan tumpangan, anehnya setelah melewati Mesjid Almunawarah, perempuan itu menghilang dan tidak tampak lagi dijok mobil belakang, padahal mobil tersebut belum berhenti, ada banyak kisah lainnya yang enggan saya ceritakan pada tulisan ini.

Cerita kecil dilapangan tenis
Ada semacam anekdot atau cerita ketika saya kecil dulu yang mengatakan bahwa bila ada Pegawai yang pandai bermain tenis beliau biasanya akan cepat naik jabatan. Dulu sekali Bupati dikabupaten saya ini pernah memiliki sebuah masa dimana beliau ini dapat bertindak seperti penguasa lokal dan sangat dihormati masyarakat. Ada kisah beliau ini kesukaannya bermain tenis, oleh karenanya dulu tenis merupakan olah raga favorit pejabat, konon deal-deal politik dan jabatan tersaji dilapangan tenis tersebut, tentu saja sekali lagi ini konon, karena cerita itu saya dapat dimasa kecil dulu. Sampai hari ini lokasi lapangan tenis itu masih ada, dan masih terawat dilapangan Ahmad Yani. 

Ke Tarakan Naik Kapal Kayu 
Ini kejadian yang pernah saya rasakan sewaktu kecil sekali dulu, saya sempat merasakan berangkat ke Tarakan naik kapal kayu dari pelabuhan Tanjung Selor, tidak seperti naik Spead yang hanya dua jam, naik kapal kayu durasi lama, kalau ke Tarakan kami singgah di hotel Mesir dan sempat mencicipi Tolaram, tempat permainan yang ngetop dizamannya.

Banjir jadi hiburan
Kalau banjir, orang Tanjung suka sekali, sampai kami yang digunung sengaja turun buat Mandi-mandi banjir. Itu adalah sebuah periode dimana saking senangnya banjir, anak-anak sengaja bawa pelampung buat menikmati suasana banjir. Kami dapat hiburan gratis dari sungai yang meluap itu. masa itu memang menyenangkan.

“Sarang Brimob” dulunya tempat mangkal bis
Bicara soal transportasi antar daerah via darat, biasanya jalur Bulungan-Berau biasanya kami lewat Bis, jangan bandingkan bagaimana mulusnya jalan aspal hari ini dengan periode itu, jalan banyak agregat tanah. Saya masih ingat nama-nama Bis yang saya tumpangi bila hendak ke Samarinda via Berau, dulu ada namanya Bis ‘Bone Indah Jaya’, itu bis perintis, orang-orangnya saya akui berani menjalankan jalur darat yang ekstrim itu, bayangkan saya bila mogok dijalan, para penumpang harus turun mendorong atau menarik bis dari kubangan lumpur, luar bisa. 

Dulu pertama kali saya berangkat menggunakan Bis, pangkalannya ada disekitar jalan Katamso dekat pinggir sungai, sangat sederhana sekali, kemudian pemerintah daerah sempat membangun terminal bis di Kilo 2, sayang sekali sudah tidak beroprasi, selain karena masyarakat memilih naik travel, ada suatu dan lain hal yang membuat lokasi terminal tersebut tidak terlalu didatangi orang, lama terbengkalai dan akhirnya difungsikan sebagai Markas Pasukan Brimob Detasemen “A“ di Tanjung Selor.

Pasar di Jalan Pahlawan
Kalau mau melihat “Tanah Abang van Tanjung Selor”, dulunya ada dijalan Pahlawan. Waktu saya sekolah dulu tempat itu memang ramai karena ada pasar disana, juga Lapakan, tempat berjualan yang elit dimasa itu, kawasan itu memang ramai, semacam distrik perdagangan masa masanya. Tentu saja pasar tersebut pasti sangat ramai, agak kontras dengan lokasinya yang bersebrangan dengan SMK Tanjung Selor, jadi bisa dibilang bila ada yang bolos, tak perlu jauh-jauh mencari para siswa tersebut, cukup cari mereka dipasar itu. Oya kenapa namanya jalan Pahlawan, kerena lokasi itu dulunya makam pahlawan Dwikora yang kemudian lokasinya dipindahkan didekat Lapangan Udara Tanjung Selor hari ini. 

Birau yang Khidmat dilapangan Agatis
Dari kecil saya selalu bertanya dalam hati, kenapa ya kalau ada pameran atau pawai lokasi startnya pasti dari lapangan Ahmad Yani menuju Lapangan Agatis? Ternyata dulu dilapangan Ahmad Yani pernah berdiri Kantor Bupati Bulungan Pertama (sekarang jadi kantor bank BRI) dan ketika dipindahkan ke jalan Kolonel Sutadji, pemerintah daerah juga meneruskan tradisi yang sama yakni memilki halaman yang luas digunakan untuk acara-acara seremonial Kabupaten seperti Birau, makanya lapangan Agatis dibangun bersebrangan dengan kantor bupati lama yang sekarang jadi lokasi kantor Gubernur itu.

Lapangan Ahmad Yani menjadi bagian dari kisah masa muda orang Tua saya, tapi Lapangan Agatis adalah bagian dari kisah masa kecil saya. Saya suka dengan lapangan ini karena acara-acara hiburan selalu dilakukan ditempat tersebut seperti pawai pembangunan dan Birau atau HUT Kabupaten Bulungan dan Kota Tanjung Selor, tempat itu menjadi sesuatu yang sangat fameliar dimasa kecil saya, disana saya melihat bagaiamana sakralnya acara Birau itu, ada tari-tarian kolosal, hiburan rakyat, pameran-pameran pembangunan, lomba-lomba, pasar malam, sampai warung makan. Sayangnya saat saya menyadari ketika kembali kelapangan yang sama itu, mengingat memori masa kecil saya, rasanya ada yang hilang. Lapangan Agatis tidak lagi sesakral yang dulu, saya bahkan tidak bisa melihat Birau lagi ditempat itu, hawa tempat itu sudah terasa berbeda.

By. M. Zarkasyi

Kamis, 21 November 2019

Sungai Kayan dan Hikayat Perahu Tambangan di Bulungan.


Sungai Kayan dalam lintasan sejarah Bulungan, memang tak banyak disebut, padahal seorang sejarawan maritim indonesia, Adrian B. Lapian pernah menyinggung dalam tulisannya bahwa sungai ini memiliki arti yang penting bagi perjalanan sejarah Bulungan.

Sungai Kayan menjadi begitu penting karena ia adalah urat nadi kehidupan pada masyarakat yang hidup disekitarnya, selain Kesultanan Bulungan, setidaknya ada beberapa kerajaan yang dibangun atas dasar budaya sungai seperti Kesultanan Banjar, Kesultanan Berau, Kesultanan Kutai dan Kesultanan Palembang.

Menurut catatan Adrian B. Lapaian, pada abad XIX sungai Kayan merupakan salah satu jalur perdagangan dan transportasi yang ramai, kota pelabuhan Tanjung Selor hidup dari aliran sungai ini.

Budaya Bulungan sendiri pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sungai Kayan, mulai dari hal-hal kecil pembuatan biduk (sampan) hingga kepernikahan, sungai Kayan juga punya arti yang magis bagi masyarakat Bulungan sampai hari ini. Bahkan diera Kesultanan dulu ketika menyambut tamu dari pemerintah Belanda yang kapalnya markir ditengah sungai itu dijemput dengan perahu khas Kesultanan namanya “Biduk Bebandung”. Juga bila ada ada acara birau sering pula diadakan lomba perahu atau “Rumba Biduk” sebagai bagian dari kebudayaan sungai khas Bulungan di masa tersebut.

Hikayat kecil perahu tambangan.
Salah satu bagian penting dari keberadaan sungai Kayan adalah adanya perahu tambangan, ya walaupun roda transportasi darat makin marak, transpoirtasi laut dan sungai tetap tak bisa dikesampingkan. Dimasa lalu ukuran mode transportasi sungai menjadi bagian yang amat vital bagi masyarakat Bulungan dan sekitarnya. Sungai Kayan yang membelah kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas ini bisa survive, salah satunya karena adanya transportasi sungai yang harganya terjangkau ini.

Bagi sebagian orang Bulungan yang hidup dipesisir Tanjung Palas, parahu tambang merupakan bagian dari penyambung hidup bagi mereka, karena itu saya memahami arti penting hubungan antara manusia, biduk mereka dan sungai Kayan yang tak terpisahkan ini. Saya lebih senang menyebut mereka “pengayuh perahu”, walaupun kenyataannya sekarang lebih banyak menggunakan mesin tempel dari pada menggunakan dayung. 

Sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu sempat terlintas dalam pikiran saya, - mungkin juga dipikirkan oleh sebagian orang lainnya,- mengapa ketika membangun jempatan penghubung antara Tanjung Palas dan Tanjung Selor tidak dibangun persis ditengah-tengah yang langsung menghubungkan kedua tempat tersebut dengan menghemat jarak dan waktu?, karena kenyataannya jembatan itu justru dibangun jauh melintasi kawasan kilo dua di Jelarai.

Jawaban pertanyaan itu ternyata saya temukan ketika secara tak sengaja saya membaca sebuah artikel karya Johansyah Balham berjudul “Nasib perahu tambangan”, artikel itu mengisahkan kenangan masa-masa jayanya perahu tambang di samarinda yang kemudian juga dikuti kisah sendu nasib para pengayuh perahu yang tak menentu ketika pemerintah membangun jembatan penghubung antara Samarinda kota dan Samarinda seberang. Saya tahu jembatan itu, kerena sewaktu sekolah di Balikpapan dulu, jembatan itu sering saya lalui ketika hendak singgah diterminal sungai Kunjang.

Ketika waktu luang saya masih cukup banyak, untuk sekedar travel ke Museum Kesultanan Bulungan maupun Mesjid Kasimuddin atau sekedar mengunjungi kerabat, saya teringat obrolan ringan dengan pengayuh tambang tua waktu itu, kebetulan saya duduk di belakang penumpang berjejer rapih memanjang dari depan kebelakang itu, ketika saya bertanya mengapa beliau masih senang membawa biduknya menyebrangi sungai kayan diusianya yang sebenarnya sudah mulai mendekati senja itu, beliau enteng menjawab sambil tersenyum, “ya inilah pak yang saya bisa, sudah dari muda dulu lagi, kalau nda begini nda adalah beras kami dirumah”, (pen).

Senin, 24 Agustus 2015

[Foto] Rekreasi ke Selimau Park.


Kunjungan ke Seliau Park, salah satu tempat wisata yang masih baru di Buka di Tanjung Selor. Daerah Selimau Park sendiri tak jauh dari rumah kami di Sabanar baru, daerah pinggiran kota tercinta yang sudah lama saya dan keluarga tinggali ini.

Untuk sebuah tempat rekreasi yang terhitung masih “hijau”, destinasi wisata itu cukup ramai pengunjung, wajar saja mengingat masyarakat dikota kecil kami ini, memang haus akan hiburan.

Saat kami datang kesanapun kondisinya memang masih berbenah, hanya saja bagi saya tetap saja menyenangkan bukan hanya karena bisa melihat keindahan kawasan hutan bakau yang diisi dengan beberapa jenis hewan, atau tempat bermain berupa kolam-kolam pemandian, pun dengan adanya warung makan yang menggugah selera, namun yang terpenting saat itu yang saya rasakan adalah kebersamaan. Mengapa? Karena bila saya ingat-ingat lagi perjalanan waktu yang sudah lalu, waktu kepersamaan dengan keluarga dalam suasana rekreasi seperti ini memang sudah lama tak saya rasakan, karena itu walaupun sederhana, saya menikmati sekali suasana kebersamaan itu. (Zee)

Foto Bareng

Sabtu, 09 November 2013

Memori : Bekebun ....


Sebelum keluarga kami tinggal di wilayah Sabar Baru, saya dulu tinggal dikawasan Tanjung harapan, atau gunung kalau orang tanjung menyebutnya. Lama tak dilihat suasana bekas rumah mungil kami dulu jadi kebun yang cukup rimbun. 

Foto - foto ini saya ambil sekitar bulan April 2012 lalu, maklumlah sebelumnya rumah lama sudah dirobohkan dan akan dibangun lagi rumah baru yang agak besar di tahun 2013 ini, tempat tersebut penuh dengan macam-macam pokok buah, saya senang sekali dengan foto yang dikumpulkan ini, bukan apa, jarang sekali sebenarnya kami bersaudara bisa kumpul bareng dikebun seperti ini dengan abah. (zee)

Galeri Kebun kami ....



Minggu, 27 Oktober 2013

Memori : Banjir di Tanjung Selor

Saya jadi ingat, dulu waktu kecil kalau Tanjung Selor lagi banjir biasanya kami mandi-mandi disana, lucu memang tapi begitulah salah satu kesenangan orang Tanjung Selor jaman itu.

Mandi banjir sebenarnya bukan ritual tahunan, karena banjir kecil seperti itu sangat jarang terjadi, entah siapa yang memulai, tapi yang jelas banjir seperti ini memang jadi hiburan di kota kami yang kecil ini.

Sayangnya saya lupa kapan momen ini terjadi tapi yang saya ingat dulu, lokasi foto pertama, diambil didepan kantor bupati lama, persis didekat totem-totem alias patung ukiran Dayak bersejarah itu, sayangnya totem-totem itu sudah lama ga dirawat lagi, lokasi kedua di depan patung rusa yang nasibnya sama dengan totem-totem Dayak tadi, hanya saja saat ini agak terawat, walaupun ada beberapa bagian yang sudah sangat rusak. 

Cukup lama sekali ada patung rusa atau orang sini menyebutnya pelanduk yang dipahat di pertigaan jalan dekat kantor BPD Kaltim waktu itu, nongkrong disitu, lucunya kepalnya dibuat menoleh kebelakang, saya bersyukur sempat mengabadikan momen tersebut. Setidaknya sebagai bagian dari ingatan kota. (zee)

Rabu, 17 Juli 2013

Budaya: Selayang Pandang Seni Mamanda.


Diberbagai daerah di Nusantara, seni panggung beraneka ragam bentuk dan rupanya, ada Ketoprak dan Ludruk dari tanah Jawa, orang Betawi dengan Lenongnya, Dul Muluk atau Tonil Melayu yang dahulu banyak ditemukan dipesisir Sumatra, dan Mamanda yang menjadi ikon budaya seni panggung di Kalimantan.

Bicara tentang Mamanda, tampaknya tak dapat dilepaskan dari pengaruh seni yang berkembang di Kalimantan Selatan, khususnya dimasa Kesultanan Banjar. Mamanda berasal dari kata “mama” yang berarti “paman atau pakcik” dan kata “nda” sebagai morfem terikat yang berarti terhormat. Jika digabung, mamanda berarti “paman yang terhormat”. Kata paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini berlaku untuk orang yang dianggap seusia dengan abah atau orang tua. Istilah tersebut juga kerapkali digunakan oleh seorang Sultan ketika menyapa mangkubumi dan atau wazirnya dengan sebutan “Mamanda Mangkubumi” atau “Mamanda Wazir”.

Dalam kesenian mamanda, tokok-tokoh diperankan oleh sosok seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir (penasehat kerajaan), Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan Kedua, Khadam (Badut / Ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Seperti kesenian tradisional pada umumnya, mamanda merupakan ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada setiap lakon yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh utama dan adapula sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh utama harus ada pada setiap pertunjukan.

Dalam pementasannya seni mamanda selalu diiringi lagu, tarian dan berbalas pantun. Nyayian dalam pementasan mamanda pada dasarnya memang bukanlah lagu yang sedang tren saat ini, nyanyian itu memang lebih mirip dengan berbalas pantun dengan irama yang khas, dalam seni mamanda ini nyanyian diberi istilah Baladun.

Memainkan mamanda sendiri tata panggungnya tak terlalu ribet, properti yang digunakan cukuplah meja dan kursi untuk persidangan karakter raja, hanya hiasan saja memang agak merepotkan dengan stelan khas kerajaan / bangsawan, namun disitulah letak kekhasan teater tradisional seperti mamanda ini.

Uniknya tradisi lakon panggung ini ternyata juga dibawa oleh perantau Banjar dimana mereka berada. Mamanda tak hanya berkembang dikemudian hari di tanah Banjar saja, dipesisir Kalimantan Timur mamanda juga sempat berkembang bahkan hingga ke Tambilahan, Riau tempat komunitas Banjar menetap disana. Bahkan di Samarinda, mamanda sempat dikenal dengan nama Sandima, atau kepanjangan dari Sandiwara Mamanda, ditahun 70-an Sandima berkembang sangat pesat di kota tersebut.

Mamanda Bulungan, seperti apakah rupanya? 

Apakah mamanda Bulungan khas menggunakan bahasa Bulungan dalam dialognya atau menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar?, Begitulah pertanyaan yang menarik bagi penulis, mamanda Bulungan sendiri tak banyak terekspose dengan baik, penulis sendiri masih mencoba mendalami informasi mengenai hal tersebut, insya Allah akan dibahas dalam tulisan berikutnya, namun sejauh yang dapat kita ketahui kesenian ini memang sudah eksis di Bulungan setidaknya di abad ke -19 M. (zee).

Sumber rujukan : Radar Tarakan, Minggu 18 November 2012.