Rabu, 17 Juli 2013

Budaya: Selayang Pandang Seni Mamanda.


Diberbagai daerah di Nusantara, seni panggung beraneka ragam bentuk dan rupanya, ada Ketoprak dan Ludruk dari tanah Jawa, orang Betawi dengan Lenongnya, Dul Muluk atau Tonil Melayu yang dahulu banyak ditemukan dipesisir Sumatra, dan Mamanda yang menjadi ikon budaya seni panggung di Kalimantan.

Bicara tentang Mamanda, tampaknya tak dapat dilepaskan dari pengaruh seni yang berkembang di Kalimantan Selatan, khususnya dimasa Kesultanan Banjar. Mamanda berasal dari kata “mama” yang berarti “paman atau pakcik” dan kata “nda” sebagai morfem terikat yang berarti terhormat. Jika digabung, mamanda berarti “paman yang terhormat”. Kata paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini berlaku untuk orang yang dianggap seusia dengan abah atau orang tua. Istilah tersebut juga kerapkali digunakan oleh seorang Sultan ketika menyapa mangkubumi dan atau wazirnya dengan sebutan “Mamanda Mangkubumi” atau “Mamanda Wazir”.

Dalam kesenian mamanda, tokok-tokoh diperankan oleh sosok seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir (penasehat kerajaan), Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan Kedua, Khadam (Badut / Ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri). Seperti kesenian tradisional pada umumnya, mamanda merupakan ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada setiap lakon yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh utama dan adapula sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh utama harus ada pada setiap pertunjukan.

Dalam pementasannya seni mamanda selalu diiringi lagu, tarian dan berbalas pantun. Nyayian dalam pementasan mamanda pada dasarnya memang bukanlah lagu yang sedang tren saat ini, nyanyian itu memang lebih mirip dengan berbalas pantun dengan irama yang khas, dalam seni mamanda ini nyanyian diberi istilah Baladun.

Memainkan mamanda sendiri tata panggungnya tak terlalu ribet, properti yang digunakan cukuplah meja dan kursi untuk persidangan karakter raja, hanya hiasan saja memang agak merepotkan dengan stelan khas kerajaan / bangsawan, namun disitulah letak kekhasan teater tradisional seperti mamanda ini.

Uniknya tradisi lakon panggung ini ternyata juga dibawa oleh perantau Banjar dimana mereka berada. Mamanda tak hanya berkembang dikemudian hari di tanah Banjar saja, dipesisir Kalimantan Timur mamanda juga sempat berkembang bahkan hingga ke Tambilahan, Riau tempat komunitas Banjar menetap disana. Bahkan di Samarinda, mamanda sempat dikenal dengan nama Sandima, atau kepanjangan dari Sandiwara Mamanda, ditahun 70-an Sandima berkembang sangat pesat di kota tersebut.

Mamanda Bulungan, seperti apakah rupanya? 

Apakah mamanda Bulungan khas menggunakan bahasa Bulungan dalam dialognya atau menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar?, Begitulah pertanyaan yang menarik bagi penulis, mamanda Bulungan sendiri tak banyak terekspose dengan baik, penulis sendiri masih mencoba mendalami informasi mengenai hal tersebut, insya Allah akan dibahas dalam tulisan berikutnya, namun sejauh yang dapat kita ketahui kesenian ini memang sudah eksis di Bulungan setidaknya di abad ke -19 M. (zee).

Sumber rujukan : Radar Tarakan, Minggu 18 November 2012.