Kamis, 21 November 2019

Sungai Kayan dan Hikayat Perahu Tambangan di Bulungan.


Sungai Kayan dalam lintasan sejarah Bulungan, memang tak banyak disebut, padahal seorang sejarawan maritim indonesia, Adrian B. Lapian pernah menyinggung dalam tulisannya bahwa sungai ini memiliki arti yang penting bagi perjalanan sejarah Bulungan.

Sungai Kayan menjadi begitu penting karena ia adalah urat nadi kehidupan pada masyarakat yang hidup disekitarnya, selain Kesultanan Bulungan, setidaknya ada beberapa kerajaan yang dibangun atas dasar budaya sungai seperti Kesultanan Banjar, Kesultanan Berau, Kesultanan Kutai dan Kesultanan Palembang.

Menurut catatan Adrian B. Lapaian, pada abad XIX sungai Kayan merupakan salah satu jalur perdagangan dan transportasi yang ramai, kota pelabuhan Tanjung Selor hidup dari aliran sungai ini.

Budaya Bulungan sendiri pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sungai Kayan, mulai dari hal-hal kecil pembuatan biduk (sampan) hingga kepernikahan, sungai Kayan juga punya arti yang magis bagi masyarakat Bulungan sampai hari ini. Bahkan diera Kesultanan dulu ketika menyambut tamu dari pemerintah Belanda yang kapalnya markir ditengah sungai itu dijemput dengan perahu khas Kesultanan namanya “Biduk Bebandung”. Juga bila ada ada acara birau sering pula diadakan lomba perahu atau “Rumba Biduk” sebagai bagian dari kebudayaan sungai khas Bulungan di masa tersebut.

Hikayat kecil perahu tambangan.
Salah satu bagian penting dari keberadaan sungai Kayan adalah adanya perahu tambangan, ya walaupun roda transportasi darat makin marak, transpoirtasi laut dan sungai tetap tak bisa dikesampingkan. Dimasa lalu ukuran mode transportasi sungai menjadi bagian yang amat vital bagi masyarakat Bulungan dan sekitarnya. Sungai Kayan yang membelah kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas ini bisa survive, salah satunya karena adanya transportasi sungai yang harganya terjangkau ini.

Bagi sebagian orang Bulungan yang hidup dipesisir Tanjung Palas, parahu tambang merupakan bagian dari penyambung hidup bagi mereka, karena itu saya memahami arti penting hubungan antara manusia, biduk mereka dan sungai Kayan yang tak terpisahkan ini. Saya lebih senang menyebut mereka “pengayuh perahu”, walaupun kenyataannya sekarang lebih banyak menggunakan mesin tempel dari pada menggunakan dayung. 

Sewaktu masih duduk di bangku SMA dulu sempat terlintas dalam pikiran saya, - mungkin juga dipikirkan oleh sebagian orang lainnya,- mengapa ketika membangun jempatan penghubung antara Tanjung Palas dan Tanjung Selor tidak dibangun persis ditengah-tengah yang langsung menghubungkan kedua tempat tersebut dengan menghemat jarak dan waktu?, karena kenyataannya jembatan itu justru dibangun jauh melintasi kawasan kilo dua di Jelarai.

Jawaban pertanyaan itu ternyata saya temukan ketika secara tak sengaja saya membaca sebuah artikel karya Johansyah Balham berjudul “Nasib perahu tambangan”, artikel itu mengisahkan kenangan masa-masa jayanya perahu tambang di samarinda yang kemudian juga dikuti kisah sendu nasib para pengayuh perahu yang tak menentu ketika pemerintah membangun jembatan penghubung antara Samarinda kota dan Samarinda seberang. Saya tahu jembatan itu, kerena sewaktu sekolah di Balikpapan dulu, jembatan itu sering saya lalui ketika hendak singgah diterminal sungai Kunjang.

Ketika waktu luang saya masih cukup banyak, untuk sekedar travel ke Museum Kesultanan Bulungan maupun Mesjid Kasimuddin atau sekedar mengunjungi kerabat, saya teringat obrolan ringan dengan pengayuh tambang tua waktu itu, kebetulan saya duduk di belakang penumpang berjejer rapih memanjang dari depan kebelakang itu, ketika saya bertanya mengapa beliau masih senang membawa biduknya menyebrangi sungai kayan diusianya yang sebenarnya sudah mulai mendekati senja itu, beliau enteng menjawab sambil tersenyum, “ya inilah pak yang saya bisa, sudah dari muda dulu lagi, kalau nda begini nda adalah beras kami dirumah”, (pen).