Sungai Kayan dalam lintasan sejarah Bulungan, memang
tak banyak disebut, padahal seorang sejarawan maritim indonesia, Adrian B.
Lapian pernah menyinggung dalam tulisannya bahwa sungai ini memiliki
arti yang penting bagi perjalanan sejarah Bulungan.
Sungai Kayan menjadi begitu penting karena ia adalah
urat nadi kehidupan pada masyarakat yang hidup disekitarnya, selain Kesultanan
Bulungan, setidaknya ada beberapa kerajaan yang dibangun atas dasar budaya
sungai seperti Kesultanan Banjar, Kesultanan Berau, Kesultanan Kutai dan
Kesultanan Palembang.
Menurut catatan Adrian B. Lapaian, pada abad XIX
sungai Kayan merupakan salah satu jalur perdagangan dan transportasi yang ramai,
kota pelabuhan Tanjung Selor hidup dari aliran sungai ini.
Budaya Bulungan sendiri pada dasarnya sangat
dipengaruhi oleh sungai Kayan, mulai dari hal-hal kecil pembuatan biduk
(sampan) hingga kepernikahan, sungai Kayan juga punya arti yang magis bagi masyarakat Bulungan sampai hari ini. Bahkan diera Kesultanan dulu ketika
menyambut tamu dari pemerintah Belanda yang kapalnya markir ditengah sungai itu dijemput dengan perahu khas Kesultanan
namanya “Biduk Bebandung”. Juga bila ada ada acara birau sering pula diadakan lomba perahu atau “Rumba Biduk” sebagai bagian dari kebudayaan sungai khas Bulungan di masa
tersebut.
Hikayat
kecil perahu tambangan.
Salah satu bagian penting dari keberadaan sungai Kayan adalah adanya perahu tambangan, ya walaupun roda transportasi
darat makin marak, transpoirtasi laut dan sungai tetap tak bisa dikesampingkan.
Dimasa lalu ukuran mode transportasi sungai menjadi bagian yang amat vital bagi
masyarakat Bulungan dan sekitarnya. Sungai Kayan yang membelah kota Tanjung
Selor dan Tanjung Palas ini bisa survive,
salah satunya karena adanya transportasi sungai yang harganya terjangkau ini.
Bagi sebagian orang Bulungan
yang hidup dipesisir Tanjung Palas, parahu tambang merupakan bagian dari
penyambung hidup bagi mereka, karena itu saya memahami arti penting hubungan
antara manusia, biduk mereka dan sungai Kayan yang tak terpisahkan ini. Saya
lebih senang menyebut mereka “pengayuh perahu”, walaupun kenyataannya sekarang
lebih banyak menggunakan mesin tempel dari pada menggunakan dayung.
Sewaktu masih duduk di bangku
SMA dulu sempat terlintas dalam pikiran saya, - mungkin juga dipikirkan oleh
sebagian orang lainnya,- mengapa ketika membangun jempatan penghubung antara
Tanjung Palas dan Tanjung Selor tidak dibangun persis ditengah-tengah yang
langsung menghubungkan kedua tempat tersebut dengan menghemat jarak dan waktu?,
karena kenyataannya jembatan itu justru dibangun jauh melintasi kawasan kilo
dua di Jelarai.
Jawaban pertanyaan itu ternyata
saya temukan ketika secara tak sengaja saya membaca sebuah artikel karya
Johansyah Balham berjudul “Nasib perahu tambangan”, artikel itu mengisahkan
kenangan masa-masa jayanya perahu tambang di samarinda yang kemudian juga
dikuti kisah sendu nasib para pengayuh perahu yang tak menentu ketika
pemerintah membangun jembatan penghubung antara Samarinda kota dan Samarinda
seberang. Saya tahu jembatan itu, kerena sewaktu sekolah di Balikpapan dulu,
jembatan itu sering saya lalui ketika hendak singgah diterminal sungai Kunjang.
Ketika waktu luang saya masih
cukup banyak, untuk sekedar travel ke
Museum Kesultanan Bulungan maupun Mesjid Kasimuddin atau sekedar mengunjungi
kerabat, saya teringat obrolan ringan dengan pengayuh tambang tua waktu itu,
kebetulan saya duduk di belakang penumpang berjejer rapih memanjang dari depan
kebelakang itu, ketika saya bertanya mengapa beliau masih senang membawa
biduknya menyebrangi sungai kayan diusianya yang sebenarnya sudah mulai
mendekati senja itu, beliau enteng menjawab sambil tersenyum, “ya inilah pak yang saya bisa, sudah dari
muda dulu lagi, kalau nda begini nda adalah beras kami dirumah”, (pen).