Selasa, 19 Mei 2020

Obrolan ringan tentang sedikit Hikayat Tionghoa di Tanjung Selor.

Kebetulan suatu malam saya pergi belanja kebutuhan sekaligus membeli Inggu* di toko Linking, Inggu yang saya beli itu hanya bisa didapati di toko Ini, benda ini biasanya dipakai oleh ibu yang mulai hamil konon untuk membuat mahluk tak kasat mata menjauhi sicalon bayi, kebetulan ipar saya membutuhkan benda itu, ya sebagai bagian dari khazanah budaya, menariknya ada juga ternyata toko orang Tionghoa yang menjual benda semacam itu. Iseng-iseng saya menanyakan pada pemilik toko tersebut, sepertinya sudah generasi kedua. orangnya masih cukup muda sekitar 35-40 tahun.

“Koh saya pernah dengar keluarga kokoh dulu di Salimbatu ya”

Agak terkejut rupanya ditanya hal tersebut, sambil tersenyum ramah,

“Iya dulu Akong, moyang saya, berangkat dari Cina, lewat Thailand dan kemudian sampai di Salimbatu”, katanya mulai membuka kisah.

“Wah menarik sekali koh, dulu sudah buka toko disana ya koh, Tanya saya agak kepo

“Kalo toko kami nda punya, dulu di Salimbatu kami buat udang yang dikeringkan, terasi di buat dirumah. Dulu banyak saudagar Bugis yang bawa ke Tanjung Selor atau ke Tarakan, kebanyakannya sih Tarakan’. Kata beliau.

 “Jadi disini banyak orang Hakka yak koh” Tanya saya (saya pikir beliau orang Hakka)

“Kalo Hakka, ada. Kalo kami orang Tiociu kebanyakannya di Tanjung Selor itu, hampir semua keluarga saya disini punya pertalian keluarga, kebanyakan Tiociu”.

Ingatan saya mulai menerawang, segara saya membuka tulisan lama yang saya buat beberapa tahun lalu dan perlu di revisi ulang. Orang Tiociu berasal dari wilayah pedalaman Swatow dan sepanjang barat daya kota pelabuhan tersebut, mereka bertetangga dengan orang Hokkian di provinsi Fukien Selatan (Fujian). Bila sampai di tempat perantauan, Orang Tiociu banyak berkecimpung dibidang pertanian, mungkin dikenal sebagai Cina kebun.

Disini saya mulai menyadari kekeliruan saya, saya pikir Orang Tiocio tidak banyak di banyak di Tanjung Selor, faktanya justru sebaliknya mereka suku Tionghoa yang paling banyak disini, karena kemampuan Survive mereka yang dapat mengolah hasil bumi berupa perkebunan sayur dan sejenisnya. Mereka bukan penambang Seperti Hakka di Singkawang, sebab pertambangan tak banyak dikenal di Bulungan sebelumnya.

Saya juga iseng, menanyakan mengapa makam Tionghoa justru diwilayah Meranti saat ini,“ dulu kalau memakamkan orang Tionghoa, kami lewat Sungai Selor sebelum ada jalan, kenapa disana, orang-orang tua dulu juga sebagian dari kami yang muda ini, percaya adanya Fengsui, jadi wilayah makam itu bagus letaknya karena membelakangi gunung dan menghadap sungai”

Malam makin larut, obrolan ringan kami hampir selesai, terakhir saya menanyakan bagaimana hubungan orang Tionghoa dan suku kaum lainnya di Tanjung Selor”

“Kalo dulu lu kentut disini, disana orang tau”, katanya sambil tersenyum. “kami rekat sekali dengan orang-orang di kota ini, kami biasa gotong royong sehingga sekat itu hampir tidak ada, makanya saya bilang sama keluarga saya jangan kalian memandang orang dari warna kulit, sebab moyang kalian dulu rekat sekali disini”.

Malam makin larut, saya pun bersiap pulang. Ceritanya menarik, saya pikir banyak bagian dari sejarah komunitas kota ini yang belum terkuak, saya mengharapkan tingkat toleransi yang menjadi pondasi Kota Tanjung Selor ini, masih tetap terjaga dan semakin bertambah erat. (Pen)

Tidak ada komentar: